BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Tuesday, March 10, 2009

Tugas 3 : ZZ.

“Wong gede tambah gede, wong cilik tambah cilik”

Setiap orang di dunia ini pasti punya pengalaman menarik termasuk aku, ada banyak sekali pengalaman menarik yang aku jumpai di kehiupanku. Namun dari semua itu ada satu hal pengalaman yang nggak sekedar menarik tapi juga sarat dengan makna.

Kejadian ini terjadi sekitar bulan September yang lalu, tepatnya pada hari Jumat. Hari itu aku kesiangan berangkat sekolah, sampai-sampai tiba di bunderan Jethak sedah jam 7 kurang 5 menit, sementara sekolahku, SMAdaBO, masuk jam 7 kurang 15 menit yang berarti aku sudah telat 10 menit. Tiba di bunderan Jethak aku berniat untuk naik becak, karena jarak antara Jethak dengan sekolahku memakan waktu 10 menit dengan di tempuh jalan kaki. Aku benar-benar cemas saat itu karena aku sama sekali tak melihat tukang becak yang biasanya mangkal di sana. Aku berbalik arah pandanganku tertuju pada pom bensin Jethak, ku lihat seorang bapak tua mengayuh becaknya dengan sangat janggal, dia hanya mengayuh becak dengan satu kaki ya, kaki kirinya (maaf) tidak normal seperti orang pada umumnya, (kalian pasti tahu maksudku) deg. Aku jadi bimbang, apakah aku harus memanggilnya? Aku tidak tega melihatnya, sampai akhirnya aku memutuskan untuk jalan kaki saja siapa tahu nanti pas di jalan ada becak lain, pikirku. Tapi tak ku sangka belum sampai beberapa langkah, bapak tua itu menghampiriku sambil menuntun becaknya, dia tersenyum dan berkata” monggo, mbak”(mari, mbak, red) ucapnya. Aku menoleh, aku bingung apa yang harus aku lakukan, aku tak sanggup menolaknya. Ku anggukan kepalaku pelan sambil tersenyum ke arahnya, dengan hati0hati aku aku naik becak bapak tua itu. “pak, mboten usah muter bunderan nggih, lewat mriki mawon”(pak, tidak usah mutar bunderan ya, lewat ini saja, red) kataku kepada bapak tua itu, aku pikir akan lebih cepat kalu nerobos jalan daripada harus muter dulu. Bapak itu menjawab, “mbak-mbak, nek bapak ngeneki yo ora wani ngelanggar peraturan ngono kuwi, tapi wong sak iki aneh je mbak, sing halal jadi haram sing haram jadi haram” (mbak-mbak, kalu bapak ini ya nggak berani melanggar peraturan seperti itu, tapi orang sekarang itu aneh yang halal jadi halal yang haram jadi haram, red) jawab bapak tua itu. Aku tertuduk lesu, malu sekali rasanya. Sebenarnya aku kasihan dengan bapak tukang becak itu, dia pasti kesulitan sekali mengayuh becaknya hanya dengan satu kaki, belum lagi dengan bebat berat ku seperti ini, becak yang ku tumpangi berjalan sangat lambat, namun justru karena itulah aku bisa lebih banyak lagi menerima pelajaran berharga dari setiap kata-kata yang keluar dari mulut bapak tua ini. Aku tidak tahu, tiba-tiba saja bapak tua itu berkata,” Sepurone yo mbah, bapak gak iso banter, lha piye sikil bapak yo ngeneiki, mung iso siji thok, tapi bapak yo tetep kudu bersyukur isek iso golek duwik sing halal, bedo karo DPR ngono kuwi sing senengane korupsi sampai triliunan tapi di hokum Cuma 5 tahun, 3 tahun malah enek sing bebas bereng eh mboh mbak-mbak jaman sak iki wong sugih tambah sugih, sing cilik tambah cilik” (maaf ya mbak, bapak ngayuhnya nggak bisa cepat, ya gimana lagi kaki bapak ya seperti ini Cuma bisa satu saja tapi bapak juga harus tetap bersyukur masih bisa cari uang dengan cara yang halal, beda dengan DPR yang suka korupsi sampai triliunan tapi Cuma di hokum 5 sampai 3 tahun saja malah ada yang di bebas kan, eh nggak tahu mbak-mbak zaman sekarang orang kaya tambah kaya orang miskin tambah miskin, red) Ungkapnya panjang lebar. Aku menoleh sambil mengangguk, menyetujui ucapanya. Bapak itu berkata lagi, “ Lha sampean iki yo kok lagek budal to mbak, padahal aku wis muter pacul peng loro, trus ngeterno koncone sampan paling nok SMA 2, eh lha sampean kok lagek budal” (lha kamu ini kok ya baru berangkat to mbak, padahal aku udah mutar pacul sampe dua kali, setelah itu ngantarkan teman kamu mungkin di SMA 2, eh lha kok kamu ini malah baru berangkat, red). Lagi-lagi aku hanya bisa diam, bapak itu melanjutkan lagi,” Indonesia butuh generasi muda yang Disiplin, mbak!”.

Aku kembali tercekat olej kata-katanya dan kalimat terakhir yang di ungkapkan bpak itu seperti panah yang menancap di jantungku, iya akan jadi apa ya Indonesia kalau generasi mudanya tidak disiplin seperti aku ini, pikirku. Aku menoleh ke bapak itu sambil tersenyum malu. Bapak itu balas tersenyum dan berhenti mengayuh becaknya, sudah sampai di sekolahku, begitu turun aku langsung membayarnya dan mengucapkan banyak terima kasih begitu juga dengan bapak itu yang berkali-kali mengucapkan terima kasih. Yah walaupun hari ini aku telat, tapi seenggaknya ada pelajaran berharga yang ku dapat dari seorang bapak tua, pengayuh becak. Terima kasih pak.

0 comments: